Büyük Taklit Mercii
   Biografi
   Karya
   Hukum dan Fatwa
   Akidah
   Pesan-pesan
   Perpustakaan Fiqih
   Karya Putra Beliau
   Galeri

   E-Mail Listing:


 

PASAL VII

TEMPAT MUSHALLI

Tempat mushalli harus memenuhi beberapa syarat berikut ini:

Syarat Pertama: Tempat Itu Harus Mubah

Masalah 873: Barangsiapa mengerjakan shalat di tempat hasil ghashab, shalatnya adalah batal meskipun ia mengerjakannya di atas karpet, ranjang atau yang semisalnya. Akan tetapi, tidak ada larangan mengerjakan shalat di bawah atap dan kemah hasil ghashab.

Masalah 874: Mengerjakan shalat di sebuah tempat yang manfaatnya menjadi hak milik orang lain tanpa restu pemilik manfaat tersebut adalah batal. Contoh, rumah sewaan. Jika pemilik rumah atau orang lain ingin mengerjakan shalat di rumah itu tanpa restu penyewanya, maka shalatnya adalah batal. Begitu juga jika seseorang mengerjakan shalat di sebuah tempat yang orang lain juga memiliki hak (milik) atas tempat itu, maka shalatnya adalah batal. Contoh, jika seseorang berwasiat supaya sepertiga hartanya digunakan untuk sebuah keperluan, maka selama sepertiga harta itu belum dipisahkan, kita tidak dapat mengerjakan shalat di atas tempat miliknya tersebut.

Masalah 875: Seseorang yang telah duduk di sebuah tempat di dalam sebuah masjid, jika orang lain mengghashabnya dan mengerjakan shalat di tempat itu, maka berdasarkan ihtiyath wajib ia harus mengulangi shalatnya di tempat yang lain.

Masalah 876: Barangsiapa mengerjakan shalat di sebuah tempat yang tidak diketahui olehnya apakah berasal dari hasil ghashab atau tidak dan setelah shalatnya usai ia baru mengetahui (bahwa tempat itu adalah hasil ghashab) atau mengerjakan shalat di sebuah tempat yang ia lupa bahwa tempat itu adalah hasil ghashab dan setelah shalatnya usai ia baru ingat hal itu, maka shalatnya adalah sah, kecuali jika ia sendiri yang mengghashabnya. Dalam kondisi demikian, berdasarkan ihtiyath wajib shalatnya adalah batal.

Masalah 877: Jika seseorang tahu bahwa sebuah tempat adalah hasil ghashab dan ia tidak tahu bahwa mengerjakan shalat di tempat hasil ghashab adalah batal, lalu ia mengerjakan shalat di tempat tersebut, maka shalatnya adalah batal.

Masalah 878: Kita dapat mengerjakan shalat sunah dalam kondisi mengendarai meskipun kita tidak berada dalam kondisi terpaksa, sebagaimana kita juga dapat mengerjakan shalat wajib dalam kondisi mengendarai jika kita berada dalam kondisi terpaksa. Dalam hal ini, jika pelana kuda dan tempat duduk mobil, kereta api dan pesawat adalah hasil ghashab, maka shalat kita adalah batal.

Masalah 879: Tidak boleh kita memanfaatkan tanah hasil ghashab yang sementara ini tidak memiliki pemilik yang jelas dan shalat di atasnya adalah batal. Untuk menentukan nasib tanah tersebut kita harus merujuk kepada seorang mujtahid yang memenuhi syarat (jâmi’ asy-syarâ’ith). Begitu juga memanfaatkan bangunan yang dibangun dengan menggunakan bahan-bahan material yang tidak diketahui pemiliknya memiliki hukum seperti menggunakan harta hasil ghashab dan hal itu tidak boleh. Adapun mengerjakan shalat di atas tanah mubah bangunan tersebut yang belum dilapisi dengan bahan-bahan material itu adalah tidak batal.

Masalah 880: Seseorang yang memiliki hak milik bersama dengan orang lain terhadap sebuah tanah, jika sahamnya tidak terpisah, maka ia tidak dapat memanfaatkan tanah tersebut tanpa izin partnernya, dan begitu juga mengerjakan shalat di atasnya.

Masalah 881: Jika seseorang membeli sebuah tanah dengan menggunakan uang yang belum dikeluarkan khumus dan zakatnya, maka memanfaatkannya adalah haram dan shalat di atasnya adalah batal. Begitu juga hukumnya—berdasarkan ihtiyath wajib—jika ia membelinya dengan cara menghutang dan ketika mengadakan transaksi pembelian ia berniat untuk membayarnya dengan uang yang belum dikeluarkan khumus atau zakatnya.

Masalah 882: Jika pemilik tempat memberikan izin secara lisan dan kita tahu bahwa hatinya tidak rela, maka mengerjakan shalat di tempat tersebut adalah batal. Jika ia tidak memberikan izin (secara lisan) dan kita yakin bahwa hatinya rela, maka shalat di tempat itu adalah sah.

Masalah 883: Jika jumlah utang seorang mayit melebihi seluruh harta warisannya, maka semua jenis pemanfaatan terhadap seluruh hartanya adalah haram dan shalat yang dilakukan oleh ahli waris di atas tanah dan di dalam rumah peninggalannya tanpa restu para penagih utang adalah batal. Adapun jika utangnya lebih sedikit dari harta warisannya, maka boleh memanfaatkan harta dan mengerjakan shalat di atas tanah dan di dalam rumah peninggalannya dengan dua syarat: (1) melalui indikasi-indikasi eksternal (khârijî) para ahli waris tahu bahwa para penagih utang rela (dengan itu semua), dan (2) para ahli waris berkehendak untuk melunasi seluruh utangnya tanpa ditunda-tunda.

Masalah 884: Memanfaatkan harta milik mayit yang memiliki utang kepada orang lain adalah haram dan mengerjakan shalat di tempat yang dimilikinya adalah batal. Hal ini berlaku jika seluruh jumlah utangnya sama dengan seluruh harta peninggalannya. Akan tetapi, jika jumlah utangnya adalah kurang dari seluruh harta peninggalannya dan para ahli waris tahu bahwa karena jumlah utangnya sedikit, para penagih akan rela (dengan pemanfaatannya) dan mereka berkehendak untuk melunasi seluruh utangnya tanpa ditunda-tunda, maka tidak ada masalah memanfaatkan hartanya dan mengerjakan shalat di atas harta miliknya. Akan tetapi, meskipun demikian, mereka juga—berdasarkan ihtiyath wajib—harus meminta izin dari wali mayit.

Masalah 885: Jika mayit tidak memiliki utang, akan tetapi sebagian ahli warisnya masih kecil, gila atau gaib, maka kita hanya dapat memanfaatkan hartanya sekadar yang sesuai dengan hal-hal yang berlaku bagi seorang jenazah yang sekiranya jika hal itu tidak dilakukan, maka jenazahnya tak akan terurus, seperti membeli kain kafan dan biaya penguburan. Akan tetapi, seluruh jenis pemanfaatan yang lain terhadap harta tersebut adalah haram dan mengerjakan shalat di dalam rumah peninggalannya adalah batal kecuali setelah menentukan seorang qayim (yang mengurusi para ahli waris yang masih kecil, gila atau gaib tersebut) dan mengamalkan sesuai dengan pendapatnya.

Masalah 886: Tidak ada masalah mengerjakan shalat di tempat-tempat umum yang memang disediakan untuk penginapan para musafir, seperti hotel, motel dan mushalla di toilet-toilet umum. Dan juga tidak ada masalah musafir lain yang tidak menginap di tempat-tempat itu untuk mengerjakan shalat di situ jika terdapat indikasi bahwa pemiliknya rela dengan itu. Tidak boleh mengerjakan shalat di tempat-tempat pribadi tanpa seizin pemiliknya. Akan tetapi, jika ia telah memberikan izin untuk keperluan yang lain yang sekiranya dapat dipahami dari izin tersebut bahwa ia juga rela dengan pelaksanaan shalat di tempat itu, maka kita dapat mengerjakan shalat di tempat itu. Contoh, ia mengundang seseorang untuk santap makan dan menyuruhnya beristirahat di situ. Hal ini mengindikaskan bahwa ia juga rela jika tamunya itu mengerjakan shalat di tempat itu.

Masalah 887: Tidak ada masalah mengerjakan shalat, duduk dan tidur di tempat-tempat yang sangat luas yang tidak mungkin atau sangat sulit bagi kita untuk menghindarinya meskipun para pemiliknya enggan untuk itu dan di antara mereka masih terdapat pemilik yang masih kecil atau gila. Hanya saja—berdasarkan ihtiyath mustahab—hendaknya kita menghindari tempat-tempat semacam ini jika kita tahu bahwa para pemiliknya tidak rela.

Syarat Kedua: Tempat Itu Harus Tetap (Tidak Bergerak)

Masalah 888: Tempat shalat mushalli harus tetap dan tidak bergerak. Oleh karena itu, mengerjakan shalat di dalam kendaraan yang ketika sedang berjalan menyebabkan tubuhnya bergerak-gerak adalah batal kecuali dalam kondisi terpaksa, seperti sempitnya waktu. Dalam kondisi ini ia harus memperhatikan syarat-syarat shalat semampu mungkin. Ketika tubuhnya sedang bergerak, ia harus menghentikan bacaan dan ketika kendaraan itu merubah arah, ia harus memutar tubuhnya sehinga tetap menghadap ke arah Kiblat.

Masalah 889: Tidak ada masalah mengerjakan shalat di kendaraan-kendaraan yang tidak menyebabkan tubuh kita bergerak-gerak (ketika ia sedang berjalan), seperti kapal laut, pesawat terbang dan kereta api dengan memperhatikan seluruh syarat sahnya shalat, seperti menghadap ke arah Kiblat. Akan tetapi, jika sebuah kendaraan—secara ‘urf—tidak dapat menjamin ketenangan (baca: ketidakbergerakan) tubuh, seperti sampan dan mobil, maka shalat kita adalah batal kecuali dalam kondisi terpaksa dan sempitnya waktu.

Masalah 890: Mengerjakan shalat di atas tumpukan jerami gandum, unggukan pasir dan yang semisalnya yang tidak dapat menjaga tubuh kita tegap berdiri (istiqrâr) adalah batal. Akan tetapi, jika gerakan tubuh itu sangat sedikit sehingga kita dapat mengerjakan kewajiban-kewajiban shalat dan menjaga syarat-syarat yang lain, maka hal itu tidak ada masalah.

Masalah 891: Jika kita memulai shalat di sebuah tempat yang karena kemungkinan tiupan angin, turunnya hujan, banyaknya orang berlalu-lalang dan yang semisalnya kita tidak yakin dapat menyempurnakannya, tapi kita mengerjakannya dengan harapan dapat menyempurnakannya, maka hal itu tidak ada masalah. Dan jika kita tidak menemukan kesulitan, maka shalat kita adalah sah. Kita tidak boleh mengerjakan shalat di tempat yang diharamkan untuk berdiam di situ, seperti di bawah atap yang rusak, reruntuhan gunung atau bahaya tabrakan. Akan tetapi, jika kita mengerjakan shalat di tempat-tempat tersebut, maka shalat kita adalah sah meskipun kita telah melakukan sesuatu yang haram. Begitu juga kita tidak boleh mengerjakan shalat di atas tempat yang haram kita berdiri dan duduk di atasnya, seperti karpet dan koran yang bertuliskan nama Allah dan ayat-ayat Al-Qur’an. Akan tetapi, jika kita mengerjakan shalat di atasnya, maka shalat kita adalah sah meskipun kita telah mengerjakan sesuatu yang haram.

Masalah 892: Berdasarkan ihtiyath wajib tidak boleh kita mengerjakan shalat wajib di dalam dan di atas atap Ka’bah. Akan tetapi, dalam kondisi terpaksa hal itu tidak ada masalah.

Masalah 893: Tidak ada masalah mengerjakan shalat sunah di dalam dan di atas atap Ka’bah. Bahkan disunahkan kita mengerjakan shalat dua rakaat di hadapan setiap rukun di dalam Ka’bah.

Syarat Ketiga: Mengerjakan Shalat di Sebuah Tempat yang Mungkin untuk Mengerjakan Kewajiban-kewajibannya

Masalah 894: Tidak boleh kita mengerjakan shalat di sebuah tempat yang atapnya sangat rendah sehingga kita tidak dapat berdiri lurus atau ukurannya sangat kecil sehingga kita tidak bisa melakukan ruku’ dan sujud. Jika kita terpaksa harus mengerjakan shalat di tempat semacam ini, maka kita harus berdiri, melakukan ruku’ dan sujud semampu mungkin.

Masalah 895: Kita harus memperhatikan tata krama dan janganlah kita mengerjakan shalat lebih maju dari makam Rasulullah saw dan imam ma’shum as. Dan berdasarkan ihtiyath wajib janganlah kita mengerjakan shalat sejajar dengan makam imam ma’shum as.

Masalah 896: Jika terdapat pemisah, seperti tembok, antara tempat ia berdiri untuk mengerjakan shalat dan makam beliau, maka hal itu tidak ada masalah. Akan tetapi, pemisah seperti peti penutup makam, pagar yang mengelilingi makam dan kain penutupnya tidaklah cukup.

Syarat Keempat: Tempat Shalat Tidak Menajiskan Pakaian dan Badan Mushalli

Masalah 897: Jika tempat mushalli adalah najis, hendaknya tempat itu tidak basah sehingga kebasahannya dapat berpindah ke tubuh atau pakaiannya kecuali benda najis yang dimaafkan dalam shalat. Akan tetapi, jika tempat sujud adalah najis, shalatnya adalah batal meskipun benda najisnya tidak berpindah ke dahi. Jika kadar yang wajib dalam sujud adalah suci, maka hal itu sudah cukup. Dan berdasarkan ihtiyath mustahab hendaknya tempat mushalli tidak najis.

Syarat Kelima: Laki-laki Harus Lebih Maju dari Wanita

Masalah 898: Dalam shalat, wanita harus berdiri lebih mundur dari laki-laki, dan yang lebih baik, tempat sujudnya hendaknya juga lebih mundur dari tempat laki-laki berdiri. Atas dasar ini, jika ia berdiri lebih maju atau sejajar dengan laki-laki, maka shalatnya adalah batal. Dalam hukum ini tidak ada perbedaan antara muhrim dan selain muhrim atau antara suami dan istri. Begitu juga tidak ada perbedaan antara shalat wajib dan shalat sunah.

Masalah 899: Jika seorang wanita berdiri di samping laki-laki atau berdiri lebih maju darinya dan memulai shalat secara bersamaan, maka shalat kedua orang tersebut adalah batal. Adapun jika sebelumnya salah seorang dari mereka berdua telah memulai shalatnya, maka shalatnya adalah sah dan shalat orang kedua yang memulai shalat terakhir adalah batal.

Masalah 900: Jika terdapat pemisah antara keduanya sehingga mereka tidak dapat melihat yang lain, seperti tembok, kain atau yang semisalnya, atau jarak antara mereka adalah 10 depa (± 5 m), maka shalat mereka adalah sah.

Masalah 901: Jika wanita mengerjakan shalat di tingkat dua, maka shalatnya adalah sah meskipun ia berdiri lebih maju atau sejajar dengan laki-laki dan tinggi tingkat dua itu kurang dari 10 depa.

Syarat Keenam: Tempat Shalat Harus Rata

Masalah 902: Tempat sujud mushali tidak boleh lebih tinggi atau lebih rendah seukuran empat jari tertutup rapat dari tempat lutut dan ujung jari ibu jari kakinya.

Tempat-tempat yang Disunahkan untuk Mengerjakan Shalat

Masalah 903: Di dalam syariat Islam sangat dianjurkan kita mengerjakan shalat di masjid. Masjid yang terutama adalah Masjidil Haram, kemudian masjid Nabawi saw, setelah itu masjid Kufah, lalu masjid Baitul Maqdis, kemudian masjid jami’ di setiap kota, setelah itu masjid daerah kita berdomisili, dan kemudian masjid di pasar.

Masalah 904: Yang lebih baik bagi wanita adalah hendaknya ia mengerjakan shalat di rumah dan di tempat shalat pribadinya. Akan tetapi, jika shalat di masjid memiliki keutamaan baginya daripada shalat di rumah karena faktor apa saja selain faktor kemasjidan sebuah masjid, seperti alasan shalat berjamaah di masjid atau hatinya akan lebih khusyu’ di masjid, maka yang lebih baik baginya adalah hendaknya ia pergi masjid untuk menggapai keutamaan tersebut dengan memakai hijab yang sempurna. Dan jika tidak ada jalan lain untuk mempelajari hukum-hukum Islam selain ia harus pergi ke masjid, maka wajib baginya untuk pergi ke masjid.

Masalah 905: Mengerjakan shalat di makam-makam para imam as adalah sunah, bahkan lebih baik daripada mengerjakan shalat di masjid. Mengerjakan shalat di makam suci Amirul Mukminin as adalah sama dengan mengerjakan dua ratus ribu shalat.

Masalah 906: Sering pergi ke masjid dan pergi ke masjid yang tidak ada orang yang mengerjakan shalat di situ adalah sunah. Makruh bagi tetangga masjid jika ia tidak memiliki uzur mengerjakan shalat di selain masjid tersebut.

Masalah 907: Sunah bagi setiap orang untuk tidak mengadakan hubungan persahabatan dengan orang yang enggan pergi ke masjid karena ketidakperduliannya. Begitu juga tidak makan semeja makan dengannya, tidak bermusyawarah dengannya dalam mengerjakan segala urusan, tidak bertetanggaan dengannya, tidak meminang wanita darinya dan tidak memberikan wanita kepadanya.

Tempat-tempat yang Makruh untuk Mengerjakan Shalat

Masalah 908: Mengerjakan shalat di tempat-tempat berikut ini adalah makruh: kamar mandi, tanah bergaram, di hadapan seseorang, di hadapan pintu yang terbuka, di tengah-tengah gang dan jalan raya jika tidak mengganggu orang-orang yang sedang berlalu-lalang dan jika shalat itu mengganggu mereka, maka hal itu adalah haram dan shalat adalah batal, di hadapan api dan lampu, di dapur dan setiap tempat yang memiliki tempat pembakaran api, di hadapan sumur dan comberan yang digunakan untuk pembuangan air kencing, di hadapan foto, di hadapan patung segala sesuatu yang bernyawa kecuali jika ditutupi dengan kain, di dalam kamar yang terdapat orang junub di situ, di dalam kamar yang terdapat foto di situ meskipun foto itu tidak terdapat di hadapan mushalli, di atas kuburan, di antara dua kuburan dan di pekuburan.

Masalah 909: Seseorang yang sedang mengerjakan shalat di tempat orang-orang berlalu-lalang atau di hadapan seseorang, disunahkan baginya untuk meletakkan suatu penghalang di hadapannya yang menghalangi antara dirinya dan orang-orang tersebut meskipun penghalang itu berbentuk tongkat, tasbih atau tali.

Hukum Masjid

Masalah 910: Menajiskan tanah, bagian dalam tembok dan atap masjid, baik atap bagian dalam maupun bagian luar adalah haram, dan barangsiapa tahu bahwa masjid terkena najis, maka ia harus menyucikannya seketika itu juga. Berdasarkan ihtiyath wajib tidak boleh kita menajiskan bagian luar masjid dan jika bagian luarnya itu terkena najis, maka kita harus menyucikannya kecuali jika pewakaf tidak meniatkannya sebagai bagian dari masjid.

Masalah 911: Jika seseorang tidak dapat menyucikan masjid atau ia membutuhkan orang yang dapat membantu menyucikannya dan tidak menemukannya, maka tidak wajib baginya untuk menyucikannya. Akan tetapi, ia harus memberitahukan kenajisan masjid itu kepada orang yang dapat memnyucikannya.

Masalah 917: Jika sebagian masjid terkena najis dan penyuciannya tidak mungkin terlaksana kecuali dengan membongkar atau merusak bagian tersebut, maka kita harus membongkarnya atau jika tidak menimbulkan kerusakan yang parah, kita harus merusaknya, dan tidak wajib kita memenuhi kembali bagian yang telah dibongkar atau membenahi kembali bagian yang telah dirusak tersebut. Ya! Jika orang yang telah menajiskannya yang melakukan pembongkaran atau perusakan tersebut, maka ia harus—jika mungkin—memenuhi atau membenahinya kembali.

Masalah 918: Jika sebuah masjid dighashab, lalu dibongkar dan diganti dengan sebuah rumah atau karena adanya proyek perluasan gang dan jalan di perkotaan dan pedesaan sebagian dari masjid itu dijadikan gang dan jalan, maka berdasarkan ihtiyath wajib tidak boleh menajiskannya dan wajib menyucikannya (jika bagian itu terkena najis).

Masalah 919: Tidak ada larangan meletakkan jasad mayit di dalam masjid sebelum dimandikan jika hal itu tidak menyebabkan najis berpindah ke masjid atau tidak menyebabkan pelecehan terhadap masjid tersebut. Akan tetapi, yang paling baik adalah hendaknya kita tidak meletakkan jenazah di dalam masjid. Adapun setelah dimandikan, maka hal itu tidak ada masalah.

Masalah 920: Menajiskan makam Rasulullah saw dan para imam ma’shum as adalah haram. Jika makam-makam tersebut terkena najis dan kenajisan tersebut termasuk pelecehan terhadapnya, maka menyucikannya adalah wajib. Bahkan, berdasarkan ihtiyath mustahab hendaknya kita menyucikannya meskipun hal itu tidak termasuk pelecehan terhadapnya.

Masalah 921: Jika karpet masjid adalah najis, maka berdasarkan ihtiyath wajib kita harus menyucikannya.

Masalah 922: Membawa benda najis, seperti air kencing dan darah ke dalam masjid adalah haram jika hal itu termasuk pelecehan terhadap masjid. Begitu juga membawa sesuatu yang terkena najis, seperti pakaian dan sepatu yang najis adalah haram jika hal itu termasuk pelecehan terhadap masjid.

Masalah 923: Jika masjid dihiasi dengan kain-kain berwarna hitam demi mengadakan acara belasungkawa dan ‘aza` atau dihiasi dan dijadikan tempat menyantap teh dan makanan demi merayakan hari-hari besar agama, hal itu tidak ada masalah jika semua pekerjaan itu tidak merusak masjid dan mencegah penegakan shalat.

Masalah 924: Berdasarkan ihtiyath wajib tidak boleh menghiasi masjid dengan emas. Begitu juga berdasarkan ihtiyath wajib tidak boleh melukis wajah segala sesuatu yang memiliki ruh, seperti manusia dan hewan, di (dinding) masjid. Akan tetapi, melukis segala sesuatu yang tidak memiliki ruh, seperti tumbuh-tumbuhan, di (dinding) masjid adalah makruh.

Masalah 925: Jika masjid telah rusak, kita tidak dapat menjualnya atau menjadikannya sebagai hak milik atau jalan.

Masalah 926: Menjual pintu dan jendela atau bagian masjid yang lain adalah haram. Jika masjid itu telah rusak, maka semua barang itu harus dialokasikan untuk merehabilitasi masjid tersebut. Jika semua barang itu tidak dapat digunakan untuk merehabilitasi masjid tersebut, maka semua barang itu harus digunakan untuk kepentingan masjid yang lain. Akan tetapi, jika semua barang itu juga tidak dapat dimanfaatkan untuk kepentingan masjid-masjid yang lain, maka kita dapat menjualnya dan hasil penjualannya kita gunakan untuk merehabilitasi masjid tersebut jika mungkin, dan jika tidak, kita gunakan untuk merehabilitasi masjid-masjid yang lain.

Masalah 927: Membangun masjid dan merehabilitasi masjid yang hampir rusak adalah sebuah pekerjaan sunah. Jika masjid itu telah rusak dan tidak mungkin lagi untuk direhabilitasi, maka kita dapat membongkarnya dan membangunnya kembali. Bahkan kita dapat membongkar masjid yang tidak rusak dan untuk kepentingan masyarakat umum membangunnya kembali dengan ukuran yang lebih besar.

Masalah 928: Membersihkan dan menyalakan lampu masjid adalah sebuah pekerjaan sunah. Barangsiapa ingin memasuki masjid, hendaknya ia memakai minyak wangi dan pakaian yang bersih dan berharga, serta memeriksa bagian bawah sepatunya supaya tidak ada benda najis yang menempel. Ketika ia ingin masuk, disunahkan mendahulukan kaki kanan dan ketika ingin keluar, disunahkan mendahulukan kaki kiri. Begitu juga disunahkan ia datang lebih cepat ke masjid dan pergi lebih lambat.

Masalah 929: Ketika seseorang masuk ke dalam masjid, disunahkan untuk mengerjakan shalat sunah penghormatan kepada masjid (tahiyyah al-masjid) sebanyak dua rakaat, dan jika ia mengerjakan shalat wajib atau sunah yang lain, maka hal itu sudah mencukupi.

Masalah 930: Tidur di dalam masjid dalam kondisi tidak terpaksa, membicarakan hal-hal duniawi, melakukan hal-hal yang bernilai produksi dan membaca syair yang tidak mengandung nasihat adalah makruh. Begitu juga membuang air ludah, ingus dan air dahak di dalam masjid, mencari barang yang hilang dan mengeraskan suara. Akan tetapi, mengeraskan suara untuk menyerukan azan adalah tidak ada masalah.

Masalah 931: Membiarkan anak kecil dan orang gila masuk ke dalam masjid adalah makruh. Akan tetapi, membawa anak kecil ke masjid jika tidak menimbulkan gangguan (terhadap orang lain) dan menyebabkannya senang kepada shalat dan masjid adalah sebuah pekerjaan sunah.

Masalah 932: Makruh bagi orang yang telah memakan bawang putih, bawang merah dan yang semisalnya dan bau mulutnya mengganggu orang lain untuk masuk ke dalam masjid.