Büyük Taklit Mercii
   Biografi
   Karya
   Hukum dan Fatwa
   Akidah
   Pesan-pesan
   Perpustakaan Fiqih
   Karya Putra Beliau
   Galeri

   E-Mail Listing:


 

PASAL XIX
SHALAT MUSAFIR

Musafir (orang yang sedang melakukan perjalanan) harus mengqashar shalat Zhuhur, ‘Ashar, dan Isya’ (yaitu, menjadikannya dua rakaat), jika delapan syarat berikut ini terpenuhi:

a. Perjalanannya harus berjarak 8 farsakh (45 km).

Masalah 1289: Seorang musafir yang selama pulang-pergi menempuh jarak 8 farsakh, jika jarak yang ditempuh pada waktu ia pergi tidak kurang dari 4 farsakh, maka ia harus mengqashar shalatnya. Dengan demikian, jika jarak yang ditempuh pada waktu ia pergi adalah 3 farsakh dan jarak yang ditempuh pada waktu ia pulang adalah 5 farsakh, maka ia harus menyempurnakan shalatnya (baca: tidak mengqasharnya).

Masalah 1290: Jika jarak yang ditempuh selama pulang-pergi adalah 8 farsakh, maka ia harus mengqashar shalatnya, baik ia ingin pulang pada hari (siang atau malam) itu juga maupun selain hari itu.

Masalah 1291: Jika sebuah perjalanan pendek kurang dari 8 farsakh atau ia tidak tahu apakah jarak perjalanannya adalah 8 farsakh atau kurang, maka tidak boleh ia mengqashar shalatnya. Apabila ia ragu apakah jarak perjalanannya adalah 8 farsakh atau kurang, dalam hal ini jika meneliti tentang hal itu akan menimbulkan sebuah kesulitan (masyaqqah)—yang biasanya tidak bisa dipikul—baginya, maka ia harus menyempurnakan shalatnya. Dan jika meneliti tentang hal itu tidak akan menimbulkan kesulitan (sesuai dengan arti di atas), maka berdasarkan ihtiyath wajib ia harus meneliti terlebih dahulu; jika dua orang adil memberikan kesaksian atau sesuai dengan pernyataan masyarakat umum bahwa perjalanannya adalah 8 farsakh, maka ia harus mengqashar shalatnya atau—sesuai dengan ihtiyath (kehatian-hatian)—ia mengerjakan shalatnya dengan mengqashar dan menyempurnakan sekaligus.

Masalah 1292: Jika satu orang adil memberikan informasi bahwa jarak perjalanan seorang musafir adalah 8 farsakh, maka—menurut pendapat yang zhâhir—penentuan jarak 8 farsakh tidak bisa ditetapkan hanya dengan pemberitahuan satu orang yang adil, dan ia harus menyempurnakan shalatnya. Berdasarkan ihtiyath mustahab, hendaknya ia mengerjakan shalatnya dengan mengqashar dan menyempurnakan sekaligus.

Masalah 1293: Seorang musafir yang yakin bahwa jarak perjalanannya adalah 8 farsakh, jika ia mengqashar shalatnya dan setelah itu ia baru tahu bahwa jaraknya bukanlah 8 farsakh, maka ia harus mengerjakan shalatnya sebanyak empat rakaat, (yaitu harus mengulangi shalatnya), dan jika waktu shalat sudah habis, maka ia harus mengqadhanya.

Masalah 1294: Seorang musafir yang yakin bahwa jarak perjalanannya tidak sampai 8 farsakh atau ia ragu apakah jaraknya adalah 8 farsakh atau kurang, apabila ia baru tahu di pertengahan jalan bahwa jaraknya adalah 8 farsakh, maka ia harus mengqashar shalatnya, meskipun sisa perjalanannya tinggal sedikit, dan jika ia telah mengerjakan shalatnya secara sempurna, maka ia harus mengulanginya dengan mengqashar.

Masalah 1295: Jika ia melakukan perjalanan pulang-pergi beberapa kali antara dua tempat yang berjarak kurang dari 4 farsakh, maka ia harus mengerjakan shalat secara sempurna meskipun seluruh jarak yang telah ditempuhnya adalah 8 farsakh.

Masalah 1296: Jika suatu tempat memiliki dua jalan di mana jarak jalan pertama adalah kurang dari 8 farsakh dan jarak jalan kedua adalah 8 farsakh atau lebih, dalam hal ini apabila ia pergi ke tempat itu melalui jalan yang berjarak 8 farsakh, maka ia harus mengqashar shalatnya dan apabila ia pergi melalui jalan yang berjarak kurang dari 8 farsakh, maka ia harus menyempurnakan shalatnya.

Masalah 1297: Jika sebuah kota memiliki tembok (pembatas), maka musafir harus menghitung jarak 8 farsakh dimulai dari tembok tersebut, dan jika kota itu tidak memiliki tembok (pembatas), maka ia harus menghitungnya dimulai dari rumah terakhir kota tersebut. Di dalam kota-kota yang sangat besar di mana keluar dari satu kampung menuju ke kampung yang lain dianggap—secara ‘urf—sebagai sebuah perjalanan, menghitung jarak 8 farsakh itu dimulai dari perbatasan kampung tersebut.

b. Ia harus berniat menempuh jarak 8 farsakh itu dari sejak permulaan perjalanan.

Atas dasar syarat ini, jika seorang musafir berniat pergi ke suatu tempat yang berjarak kurang dari 8 farsakh dan setelah sampai ke tempat itu ia mengambil keputusan (baru) untuk meneruskan perjalanan ke tempat yang lain, dalam hal ini apabila perjalanan (yang kedua ini) berjarak 8 farsakh dan jarak minimal waktu pergi adalah 4 farsakh, maka shalatnya harus diqashar. Dan apabila jarak perjalanan (kedua itu) adalah kurang dari 8 farsakh, maka ia shalatnya harus sempurna, meskipun jarak seluruh perjalanannya ditambah dengan perjalanan yang pertama itu adalah 8 farsakh. Jika dari sejak permulaan ia berniat untuk menuju ke tempat tujuan pertama dan setelah itu ia ingin melanjutkan perjalanan ke tempat tujuan kedua (sekaligus), maka shalatnya harus diqashar meskipun jarak perjalanan pertama adalah kurang dari 8 farsakh.

Masalah 1298: Seorang musafir yang tidak tahu perjalanannya akan menempuh jarak berapa farsakh, seperti ia bepergian untuk mencari orang yang hilang dan ia tidak tahu harus menempuh berapa jarak untuk menemukannya, maka ia harus menyempurnakan shalatnya. Akan tetapi, jika jarak (yang harus ditempuh untuk pulang) ke tempat tinggalnya atau (menuju) ke suatu tempat yang ia ingin menetap selama sepuluh hari di situ adalah 8 farsakh atau lebih, maka ia harus mengqashar shalatnya. Begitu juga ketika di pertengahan perjalanan itu ia berniat ingin menempuh jarak 4 farsakh dan kembali lagi, dalam hal ini apabila jarak perjalanan pulang dan perginya adalah 8 farsakh, maka ia harus mengqashar shalatnya dengan syarat jarak waktu perginya tidak kurang dari 4 farsakh.

Masalah 1299: Seorang musafir harus mengqashar shalatnya ketika ia telah bertekad untuk menempuh jarak 8 farsakh. Dengan demikian, jika ia keluar dari kotanya dengan tujuan—misalnya—bahwa apabila ia mendapatkan teman dalam perjalanan, ia akan menempuh jarak 8 farsakh, dalam hal ini apabila hatinya mantap (ithmi’nân) akan dapat mendapatkan seorang teman seperjalanan, maka ia harus mengqashar shalatnya, dan apabila hatinya tidak mantap, maka ia harus menyempurnakan shalatnya.

Masalah 1300: Seorang musafir yang berniat menempuh jarak 8 farsakh meskipun dalam sehari ia hanya menempuh jarak beberapa farsakh saja, ketika ia telah sampai di suatu tempat di mana ia tidak lagi melihat tembok (pembatas) kota dan tidak mendengar suara azan kota tersebut, maka ia harus mengqashar shalatnya. Akan tetapi, jika dalam sehari ia hanya menempuh jarak yang sangat pendek sehingga ia tidak bisa dianggap sebagai seorang musafir, maka ia harus menyempurnakan shalatnya, dan berdasarkan ihtiyath mustahab, hendaknya ia mengqashar dan menyempurnakan shalatnya sekaligus.

Masalah 1301: Seseorang yang urusan perjalanannya berada di tangan orang lain, seperti seorang pembantu yang melakukan perjalanan bersama tuannya, jika ia tahu bahwa jarak perjalanannya adalah 8 farsakh, maka ia harus mengqashar shalatnya. Dan jika ia ragu tentang niat tuannya itu, maka berdasarkan ihtiyath wajib ia harus bertanya. Akan tetapi, tidak wajib tuan itu memberitahukan kepadanya.

Masalah 1302: Seseorang yang urusan perjalanannya berada di tangan orang lain, jika ia tahu atau menyangka bahwa sebelum sampai pada jarak 4 farsakh ia akan berpisah darinya, maka ia harus menyempurnakan shalatnya.

Masalah 1303: Seseorang yang urusan perjalanannya berada di tangan orang lain, jika ia ragu apakah akan berpisah darinya sebelum sampai pada jarak 4 farsakh atau tidak, maka—menurut pendapat yang zhâhir—ia harus menyempurnakan shalatnya, kecuali jika hatinya mantap (ithmi’nân) bahwa ia tidak akan berpisah. Begitu juga jika keraguannya muncul disebabkan oleh kemungkinan adanya halangan yang dapat mencegah perjalanannya, dalam hal ini apabila kemungkinan yang dimilikinya itu adalah sebuah kemungkinan yang tidak masuk akal menurut pandangan masyarakat umum, maka ia harus mengqashar shalatnya.

c. Tidak menggagalkan niatnya di pertengahan jalan.

Dengan demikian, jika musafir menggagalkan niatnya atau ragu (apakah hendak meneruskan perjalanan atau tidak) sebelum sampai pada jarak 4 farsakh, maka ia harus menyempurnakan shalatnya.

Masalah 1304: Jika ia menggagalkan perjalanannya setelah sampai pada jarak 4 farsakh, dalam hal ini apabila ia mengambil keputusan untuk tinggal di situ, kembali pulang ke rumah setelah sepuluh hari, atau ragu apakah tinggal di situ atau kembali pulang, maka ia harus menyempurnakan shalatnya.

Masalah 1305: Jika ia menggagalkan perjalanannya setelah sampai pada jarak 4 farsakh dan mengambil keputusan untuk kembali pulang, maka ia harus mengqashar shalatnya.

Masalah 1306: Jika ia telah beranjak untuk pergi ke suatu tempat dan setelah menempuk beberapa jarak ia ingin untuk pergi ke tempat lain, dalam hal ini apabila jarak antara tempat pertama yang ia telah beranjak (untuk menuju ke sana) dan tempat yang ingin ditujunya itu adalah 8 farsakh, maka ia harus mengqashar shalatnya.

Masalah 1307: Jika sebelum sampai pada jarak 8 farsakh ia ragu apakah hendak meneruskan perjalanan atau tidak dan dalam kondisi ragu ini ia tidak meneruskan perjalanannya (baca: berhenti), kemudian ia mengambil keputusan untuk meneruskan perjalanan, maka ia harus mengqashar shalatnya hingga akhir perjalanan.

Masalah 1308: Jika sebelum sampai pada jarak 8 farsakh ia ragu apakah hendak meneruskan perjalanan atau tidak dan dalam kondisi ragu itu ia (masih tetap meneruskan perjalanan sehingga) menempuh beberapa jarak, kemudian ia mengambil keputusan untuk meneruskan perjalanannya, dalam hal ini jika sisa jarak perjalanannya adalah 8 farsakh, atau 4 farsakh dengan disertai niat untuk pergi dan kembali, maka ia harus mengqashar shalatnya. Akan tetapi, jika jarak yang telah ditempuhnya sebelum ia ragu dan jarak yang akan ditempuhnya setelah keraguan itu, seluruhnya adalah 8 farsakh, maka berdasarkan ihtiyath wajib ia harus mengerjakan shalatnya dengan mengqashar dan menyempurnakan sekaligus.

d. Tidak melewati tempat tinggalnya (wathan) atau tidak tinggal selama sepuluh hari atau lebih di suatu tempat sebelum ia menempuh jarak 8 farsakh.

Atas dasar ini, seorang musafir yang ingin melewati tempat tinggalnya atau ingin tinggal selama sepuluh hari di suatu tempat sebelum menempuh jarak 8 farsakh, maka ia harus menyempurnakan shalatnya.

Masaalah 1309: Seorang musafir yang tidak tahu apakah sebelum sampai pada jarak 8 farsakh ia akan melewati tempat tinggalnya atau tidak, atau akan tinggal di suatu tempat selama sepuluh hari atau tidak, maka ia harus menyempurnakan shalatnya.

Masalah 1310: Seorang musafir yang ingin melewati tempat tinggalnya atau ingin tinggal di suatu tempat selama sepuluh hari sebelum sampai pada jarak 8 farsakh, jika ia menggagalkan rencananya untuk melewati tempat tinggalnya atau tinggal selama sepuluh hari itu, maka tetap ia harus menyempurnakan shalatnya. Akan tetapi, jika sisa jarak perjalanannya (setelah ia menggagalkan rencana itu) adalah 8 farsakh, atau 4 farsakh dan ia ingin pergi dan kembali, maka ia harus mengqashar shalatnya.

e. Tidak melakukan perjalanan untuk tujuan pekerjaan yang haram.

Dengan demikian, jika ia melakukan perjalanan untuk sebuah pekerjaan yang haram, seperti mencuri, maka ia harus menyempurnakan shalatnya. Begitu juga jika perjalanan itu sendiri adalah haram baginya, seperti perjalanan yang mengandung bahaya bagi dirinya, perjalanan seorang istri yang tidak wajib tanpa izin suaminya, atau perjalanan seorang anak yang tidak wajib dengan adanya pelarangan dari orang tuanya di mana melanggar larangan tersebut dapat menyebabkan mereka sakit hati dan marah, atau pelanggaran etika terhadap mereka. Akan tetapi, jika perjalanan itu adalah suatu perjalanan yang wajib, seperti perjalanan untuk haji, maka ia harus mengqashar shalatnya.

Masalah 1311: Perjalanan yang dapat menyebabkan orang tua sakit hati adalah perjalanan yang haram dan musafir—selama perjalanan itu—harus menyempurnakan shalatnya dan berpuasa.

Masalah 1312: Jika perjalanan seseorang bukanlah sebuah perjalanan yang haram dan ia juga tidak melakukan perjalanan untuk sebuah pekerjaan yang haram, maka ia harus mengqashar shalatnya, meskipun dalam perjalanan itu ia melakukan maksiat, seperti mengghibah atau meminum minuman keras.

Masalah 1313: Jika ia melakukan perjalanan dengan tujuan—khusus—untuk meninggalkan sebuah kewajiban, maka shalatnya adalah sempurna, (bukan qashar). Atas dasar ini, seseorang yang memiliki hutang, jika ia mampu untuk membayarnya dan penagih telah menagihnya, dalam hal ini apabila ia tidak dapat membayarnya selama perjalanan itu dan ia memang melakukan perjalanan—khusus—untuk melarikan diri dari membayar hutangnya, maka ia harus menyempurnakan shalatnya. Akan tetapi, jika ia tidak melakukan perjalanan dengan tujuan—khusus—untuk meninggalkan sebuah kewajiban, maka ia harus mengqashar shalatnya, dan berdasarkan ihtiyath mustahab hendaknya ia melakukan shalat dengan mengqashar dan menyempurnakan sekaligus.

Masalah 1314: Jika perjalanannya bukanlah sebuah perjalanan yang haram, tetapi hewan tunggangannya atau yang sejenisnya adalah hasil ghashab, maka shalatnya harus diqashar. Akan tetapi, jika ia melakukan perjalanan di atas tanah hasil ghashab, maka berdasarkan ihtiyath wajib ia harus mengerjakan shalat dengan mengqashar dan menyempurnakan sekaligus.

Masalah 1315: Seorang musafir yang melakukan perjalanan dengan seorang zalim, jika ia tidak terpaksa (untuk itu) dan perjalanan (bersamanya) itu merupakan sebuah bantuan terhadapnya, maka ia harus menyempurnakan shalatnya. Dan jika ia terpaksa atau ia melakukan perjalanan bersamanya untuk—misalnya—menyelamatkan seseorang yang sedang teraniaya, maka shalatnya harus diqashar.

Masalah 1316: Jika ia melakukan perjalan dengan tujuan rekreasi, maka perjalanannya itu bukanlah sebuah perjalanan yang haram dan ia harus mengqashar shalatnya.

Masalah 1317: Jika ia pergi berburu hanya untuk tujuan lahwu dan bersenang-senang belaka, maka shalat adalah sempurna, (bukan qashar). Jika ia pergi berburu untuk memenuhi kebutuhan hidup, maka shalatnya harus diqashar. Dan jika ia pergi berburu hanya untuk mencari dan memperbanyak harta, maka berdasarkan ihtiyath wajib ia harus mengerjakan shalat dengan mengqashar dan menyempurnakan sekaligus, tetapi tidak boleh ia berpuasa.

Masalah 1318: Seorang musafir yang melakukan perjalanan untuk tujuan maksiat, jika ia bertobat ketika kembali dari perjalanan itu, maka ia harus mengqashar shalatnya, dan jika ia tidak bertobat, maka ia harus menyempurnakan shalatnya. Jika kembali dari perjalanan juga dianggap—dalam pandangan ‘urf—seperti pergi melakukan perjalanan, maka tugasnya adalah mengerjakan shalat secara sempurna, meskipun berdasarkan ihtiyath mustahab hendaknya ia mengerjakan shalat dengan mengqashar dan menyempurnakan sekaligus.

Masalah 1319: Seorang musafir yang perjalanannya adalah perjalanan maksiat, jika di pertengahan jalan ia mengganti niat maksiat itu (dengan niat yang halal), maka ia harus mengqashar shalatnya dengan syarat sisa jarak perjalanan (yang akan ditempuhnya) itu adalah 8 farsakh, atau 4 farsakh dan ia ingin pergi dan kembali, serta jarak ketika pergi tidak boleh kurang dari 4 farsakh.

Masalah 1320: Seorang musafir yang melakukan perjalanan tidak untuk tujuan maksiat, jika di pertengahan jalan ia berniat akan melanjutkan sisa perjalanannya untuk tujuan maksiat, maka ia harus menyempurnakan shalatnya. Akan tetapi, seluruh shalat yang telah diqasharnya adalah sah.

f. Musafir bukanlah penghuni padang sahara yang selalu berpindah-pindah tempat dan di mana saja mereka menemukan air dan makanan untuk diri dan keluarganya, mereka akan tinggal di situ dan selang beberapa waktu, mereka akan berpindah ke tempat lain. Para penghuni padang sahara dalam semua perjalanan (yang akan ditempuhnya) itu harus menyempurnakan shalatnya.

Masalah 1321: Jika seseorang dari mereka mengadakan perjalanan untuk mencari tempat tinggal dan tempat menggembala binatang ternaknya tanpa membawa (seluruh perabot) rumahnya, dalam hal ini jika jarak perjalanannya adalah 8 farsakh, maka berdasarkan ihtiyath wajib ia harus mengerjakan shalatnya dengan mengqashar dan menyempurnakan sekaligus.

Masalah 1322: Jika seorang penghuni padang sahara melakukan perjalanan untuk berziarah, haji, berdagang, dan yang sejenisnya, maka ia harus mengqashar shalatnya.

g. Perjalanan bukanlah profesi musafir.

Atas dasar ini, pengendali onta (yang digunakan untuk mengangkut musafir), sopir, penggembala binatang ternak, nakhoda, dan yang semisalnya—di selain perjalanan pertama—harus menyempurnakan shalat, meskipun mereka melakukan perjalanan untuk mengangkut perabot rumah mereka sendiri. Akan tetapi, pada perjalanan pertama—berapa pun lamanya—mereka harus mengqashar shalatnya.

Masalah 1323: Seseorang yang perjalanan adalah profesinya, jika ia melakukan perjalanan untuk tujuan lain, seperti untuk melakukan ziarah atau haji, maka ia harus mengqashar shalatnya. Akan tetapi, jika sopir menyewakan mobilnya untuk perjalanan ziarah dan ia sendiri—di samping itu—juga melakukan ziarah, maka ia harus menyempurnakan shalatnya.

Masalah 1324: Kru pengangkut jamaah haji yang hanya melakukan perjalanan pada musim haji saja harus mengqashar shalat.

Masalah 1325: Seseorang yang profesinya adalah bea transportasi dan mengangkut para jamaah haji dari titik dunia yang sangat jauh, jika selama setahun penuh atau mayoritas waktu dalam setahun ia berada di dalam perjalanan, maka ia harus menyempurnakan shalatnya.

Masalah 1326: Seseorang yang—di dalam sebagian tahun—perjalanan adalah profesinya, seperti sopir yang hanya menyewakan kendaraannya pada musim dingin atau musim panas saja, maka ia harus menyempurnakan shalatnya ketika ia sedang melakukan perjalanan (untuk menjalankan profesinya). Dan berdasarkan ihtiyath mustahab, hendaknya ia mengerjakan shalat dengan mengqashar dan menyempurnakan sekaligus.

Masalah 1327: Sopir dan pedagang kaki lima yang hanya melakukan perjalanan pulang-pergi di sekitar kotanya sejauh 2-3 farsakh, jika secara kebetulan ia pergi jauh sejarak 8 farsakh, maka ia harus mengqashar shalatnya.

Masalah 1328: Seseorang yang perjalanan adalah profesinya, jika ia tinggal di tempat tinggalnya selama sepuluh hari, baik dengan niat tinggal sepuluh hari dari awal maupun tanpa niat, maka ia harus mengqashar shalatnya pada perjalanan pertama setelah sepuluh hari itu.

Masalah 1329: Seseorang yang perjalanan adalah profesinya, jika ia berniat untuk tinggal selama sepuluh hari di selain tempat tinggalnya, maka ia harus mengqashar shalatnya pada perjalanan pertama setelah sepuluh hari itu, dan jika ia tidak berniat tinggal selama sepuluh hari (di tempat itu), maka berdasarkan ihtiyath wajib ia harus mengerjakan shalat dengan mengqashar dan menyempurnakan sekaligus.

Masalah 1330: Seseorang yang profesinya di dalam perjalanan (baca: menuntut adanya perjalanan), seperti para mahasiswa yang pergi ke kota lain untuk menghadiri kuliah dan setiap hari Jumat (hari libur)—biasanya—pulang ke tempat tinggal mereka masing-masing, guru pengajar, pegawai, dan pekerja yang setiap hari keluar dari tempat tinggal mereka masing-masing dan untuk pergi ke tempat kerja mereka harus menempuh jarak yang telah ditentukan oleh syariat (untuk mengqashar shalat), serta pulang ke tempat tinggalnya pada malam hari, harus mengqashar shalatnya dan puasanya tidak sah, kecuali jika ia berniat tinggal selama sepuluh hari di tempat kerja tersebut.

Masalah 1331: Seseorang yang selalu berpindah-pindah tempat dari satu kota ke kota lainnya dan tidak memilih sebuah tempat tinggal (yang tetap) bagi dirinya, maka ia harus menyempurnakan shalatnya.

Masalah 1332: Seseorang yang perjalanan bukan profesinya, jika—sebagai contoh—ia memiliki barang di sebuah kota atau desa dan untuk mengangkutnya ia harus melakukan perjalanan berkali-kali, maka ia harus mengqashar shalatnya.

Masalah 1333: Seseorang yang berpindah tempat tinggalnya dan ingin memilih sebuah tempat tinggal lain bagi dirinya, jika perjalanan bukan profesinya, maka dalam perjalanan (mencari tempat tinggal baru itu) ia harus mengqashar shalatnya.

h. Berlalu dari haddut tarakhkhush.

Yaitu musafir harus sudah menjauh dari tempat tinggalnya sekiranya ia tidak dapat melihat tembok (pembatas) kota dan juga tidak mendengar suara azannya. Akan tetapi, di udara tidak boleh terdapat debu (berterbangan) atau lainnya yang dapat menghalanginya untuk melihat tembok (pemisah) dan mendengar suara azan itu. Dan tidak wajib ia menjauh sedemikian rupa sehingga ia tidak dapat lagi melihat menara dan qubah (sebuah masjid), atau tembok (pembatas) itu tidak terlihat sama sekali. Sekiranya tembok itu sudah tidak terlihat dengan jelas, maka hal itu sudah cukup. Seorang musafir yang ingin keluar sejauh 8 farsakh dari tempat yang ingin tinggal di situ selama sepuluh hari, selama belum sampai di haddut tarakhkhush ia harus—berdasarkan ihtiyath wajib—mengerjakan shalat dengan mengqashar dan menyempurnakan sekaligus.

Masalah 1334: Seseorang yang hendak bepergian, jika ia telah sampai di suatu tempat di mana ia sudah tidak mendengar suara azan, tetapi masih dapat melihat tembok (pembatas) kota, atau ia sudah tidak dapat melihat tembok (pembatas) kota, tetapi masih mendengar suara azan (kotanya), dalam hal ini jika ia ingin mengerjakan shalat di situ, maka berdasarkan ihtiyath wajib ia harus mengerjakan shalat dengan mengqashar dan menyempurnakan sekaligus.

Masalah 1335: Seorang musafir yang sedang pulang kembali ke tempat tinggalnya, jika ia sudah melihat tembok (pembatas) kotanya dan mendengar suara azannya, maka ia harus menyempurnakan shalatnya. Akan tetapi, musafir yang ingin tinggal di suatu tempat selama sepuluh hari, ketika ia sudah melihat tembok (pembatas) tempat tersebut dan mendengar suara azannya, maka berdasarkan ihtiyath wajib ia harus mengundurkan shalatnya hingga sampai di penginapannya atau mengerjakan shalat (sebelum sampai di penginapan) dengan mengqashar dan menyempurnakan sekaligus.

Masalah 1336: Seseorang yang tinggal di sebuah kota yang terletak di dataran tinggi sehingga kota itu dapat terlihat dari kejahuan atau terletak di sebuah dataran rendah sehingga apabila ia menjauh dari kota itu sedikit saja, ia tidak akan dapat melihat tembok (pembatas)nya, jika ia ingin melakukan perjalanan dari kota itu dan telah menjauh darinya sampai pada suatu tempat yang seandainya kota itu terletak di tempat datar, niscaya tembok (pembatas)nya tidak akan terlihat, maka ia harus mengqashar shalatnya. Begitu juga jika rendah dan tingginya rumah-rumah melebihi batas normal, maka ia harus memperhitungkan batas yang normal.

Masalah 1337: Jika ia melakukan perjalanan dari suatu tempat yang tidak memiliki rumah dan tembok (pembatas), ketika ia telah sampai di sebuah tempat yang seandainya tempat itu memiliki tembok (pembatas), niscaya tembok (pembatas) itu tidak akan terlihat, maka ia harus mengqashar shalatnya.

Masalah 1338: Jika ia telah berangkat jauh sedemikian rupa sehingga ia tidak dapat mengetahui apakah yang didengarnya itu adalah suara azan atau suara yang lain, maka ia harus mengqashar shalatnya. Akan tetapi, jika ia tahu mereka sedang mengumandangkan azan dan ia tidak dapat mendengar lafazh-lafazh azan itu dengan baik dan jelas, maka ia harus menyempurnakan shalatnya.

Masalah 1339: Jika ia telah berangkat jauh sedemikian rupa sehingga ia tidak dapat mendengar suara azan (yang dikumandangkan dari) rumah-rumah terakhir kota tersebut, tetapi ia masih dapat mendengar azan kota yang biasanya dikumandangkan dari tempat yang tinggi, maka tidak boleh ia mengqashar shalatnya.

Masalah 1340: Jika ia telah sampai pada suatu tempat di mana ia tidak dapat mendengar suara azan kota yang biasanya dikumandangkan dari tempat yang tinggi, tetapi ia masih dapat mendengar suara azan yang dikumandangkan di tempat yang sangat tinggi, maka ia harus mengqashar shalatnya.

Masalah 1341: Jika mata, telinga, atau suara azan (yang dikumandangkan) tidak normal (sebagaimana biasanya; mata dan telinganya terlalu tajam atau suara azan itu dikumandangkan terlalu keras dengan menggunakan amplifier yang sangat kuat—pen.), maka ia harus mengqashar shalatnya ketika sudah sampai di suatu tempat di mana mata normal tidak dapat melihat tembok rumah-rumah terakhir dan telinga normal tidak dapat mendengar suara azan yang normal.

Masalah 1342: Jika ia ingin mengerjakan shalat di suatu tempat yang ia ragu apakah sudah sampai di haddut tarakhkhush—batas di mana ia sudah tidak mendengar suara azan atau melihat tembok (pembatas) kota—atau belum, maka ia harus menyempurnakan shalatnya. Dan pada waktu kembali pulang (dari perjalanan), jika ia ragu apakah sudah sampai di haddut tarakhkhush atau belum, maka ia harus mengqashar shalatnya, dan karena dalam sebagian kondisi shalat akan batal, maka janganlah ia mengerjakan shalat di tempat itu (ketika kembali dari perjalanan) atau mengerjakannya dengan mengqashar dan menyempurnakan sekaligus.

Masalah 1343: Musafir yang dalam perjalanannya melewati tempat tinggalnya, ketika ia sudah sampai di suatu tempat di mana ia dapat melihat tembok (pembatasn)nya dan mendengar suara azannya, maka ia harus menyempurnakan shalatnya.

Masalah 1344: Musafir yang di pertengahan perjalanan singgah di tempat tinggalnya, maka ia harus menyempurnakan shalatnya selama ia berada di sana. Akan tetapi, jika ia ingin pergi dari situ sejauh 8 farsakh, atau 4 farsakh (dengan niat ingin) pergi dan pulang, dalam hal ini apabila ia telah sampai di suatu tempat di mana ia tidak dapat melihat tembok (pembatas) kota dan tidak dapat mendengar suara azannya, maka ia harus mengqashar shalatnya.

Masalah 1345: Tempat tinggal terbagi dalam dua kategori: (1) tempat tinggal asli, yaitu tempat tinggal kedua orang tua atau salah satu dari mereka, baik musafir lahir di situ atau di tempat lain, dan (2) tempat tinggal tidak asli, yaitu tempat tinggal seseorang yang telah dipilihnya sendiri sebagai tempat tinggal. Tempat tinggal ini juga terbagi menjadi dua kategori: (a) tempat tinggal yang telah dipilihnya sendiri dan ia berniat untuk tinggal di situ hingga akhir umurnya, dan (b) tempat tinggal yang telah dipilihnya sendiri dan ia tidak memiliki niat untuk pergi dari situ, (tetapi ia juga tidak berniat untuk tinggal di situ seumur hidup—pen.); ia tinggal di tempat itu sedemikian lama sehingga penduduk di situ telah menganggapnya sebagai penduduk tempat itu. Atas dasar ini, seseorang yang ingin tinggal di suatu tempat—meskipun dalam waktu yang sangat lama—dan setelah itu ia ingin pergi ke tempat lain, tempat itu tidak bisa menjadi tempat tinggalnya (wathan).

Masalah 1346: Seseorang yang memiliki tempat tinggal di dua tempat; selama 6 bulan ia tinggal di sebuah kota dan dalam 6 bulan sisanya ia tinggal di kota lain, maka kedua tempat itu adalah tempat tinggalnya. Adapun jika ia memiliki lebih dari dua tempat tinggal, maka berdasarkan ihtiyath wajib ia harus mengerjakan shalat dengan mengqashar dan menyempurnakan sekaligus.

Masalah 1347: Jika ia tidak berniat ingin tinggal di suatu tempat selain tempat tinggal asli dan tempat tinggal tidak asli—sebagaimana telah dijelaskan di atas, maka shalatnya harus diqashar, baik ia memiliki harta di tempat itu atau tidak, telah tinggal di situ selama enam bulan atau tidak.

Masalah 1348: Jika ia telah sampai di tempat tinggal aslinya yang lama dan ia sudah meninggalkannya (baca: tindak ingin tinggal di situ lagi) atau sampai di tempat tinggalnya yang tidak asli dan ia sudah tidak ingin tinggal di situ, maka tidak boleh ia menyempurnakan shalatnya, meskipun ia belum memilih tempat tinggal lain untuk dirinya.

Masalah 1349: Musafir yang berniat ingin tinggal di suatu tempat selama sepuluh hari berturut-turut atau ia tahu—di luar perencanaannya—akan tinggal di suatu tempat selama sepuluh hari, maka selama berada di tempat itu ia harus menyempurnakan shalatnya.

Masalah 1350: Seseorang yang ingin tinggal di suatu tempat selama 240 jam, maka niat tinggal (selama sepuluh hari) telah terwujud. Atas dasar ini, jika ia memasuki sebuah kota pada pukul 10 pagi, maka niat tinggal (selama sepuluh hari) akan terwujud jika ia meninggalkan kota itu setelah pukul 10 pagi pada hari kesebelas. Dan jika ia memasuki sebuah kota pada waktu azan Shubuh, maka tidak perlu ia menyempurnakan 240 jam itu (demi terwujudnya niat tinggal sepuluh hari). Bahkan, seandainya ia hanya tinggal hingga waktu Maghrib pada hari kesepuluh saja, maka hal itu sudah cukup dan ia harus menyempurnakan shalatnya.

Masalah 1351: Musafir yang ingin tinggal di sebuah tempat selama sepuluh hari, ia hanya dapat menyempurnakan shalatnya jika ia tinggal di satu tempat selama sepuluh hari penuh itu. Dengan demikian, jika ia ingin tinggal di kota Najaf dan Kufah selama sepuluh hari, maka ia harus mengqashar shalatnya.

Masalah 1352: Musafir yang ingin tinggal selama sepuluh hari di suatu tempat dan dari sejak pertama ia berniat untuk pergi ke daerah pinggiran tempat itu di pertengahan sepuluh hari tersebut, dalam hal ini jika daerah pinggiran itu masih termasuk bagian dari tempat itu, seperti perkebunan yang terletak di pinggiran kota, maka ia harus menyempurnakan shalatnya selama sepuluh hari itu. Jika daerah pinggiran itu tidak termasuk bagian dari tempat tersebut dan jaraknya kurang dari batas wajib mengqashar shalat, serta ia ingin pergi ke sana dan pulang kembali hanya untuk waktu satu-dua jam, maka ia harus menyempurnakan shalat, meskipun ia melakukan hal yang demikian itu setiap hari selama sepuluh hari. Dan jika hal itu lebih dari satu-dua jam, seperti ia ingin diam di sana selama seharian dan pada malam hari kembali ke tempat itu, maka berdasarkan ihtiyath wajib ia harus mengerjakan shalat dengan mengqashar dan menyempurnakan sekaligus, dan pada bulan Ramadhan—secara ihtiyath—ia harus berpuasa dan mengqadhanya setelah itu.

Masalah 1353: Musafir yang tidak mengambil keputusan akan tinggal di suatu tempat selama sepuluh hari (secara pasti), seperti ia berniat, “Jika temanku datang atau aku menemukan rumah (penginapan) yang bagus, maka aku akan tinggal selama sepuluh hari,” dalam hal ini ia harus mengqashar shalatnya.

Masalah 1354: Musafir yang ingin tinggal di suatu tempat selama sepuluh hari harus menyempurnakan shalatnya, meskipun ia memberikan kemungkinan adanya aral yang akan mencegahnya untuk bisa tinggal selama sepuluh hari, dengan syarat masyarakat umum tidak memberikan perhatian kepada kemungkinan semacam itu.

Masalah 1355: Jika musafir tahu masih tersisa sepuluh hari atau lebih hingga akhir bulan dan ia berniat untuk tinggal di suatu tempat hingga akhir bulan itu, maka ia harus menyempurnakan shalatnya. Akan tetapi, jika ia tidak tahu masih tersisa berapa hari hingga akhir bulan dan ia berniat untuk tinggal hingga akhir bulan itu, maka ia harus mengqashar shalatnya, meskipun—(pada kenyataannya)—dari sejak ia berniat (untuk tinggal selama sepuluh hari itu) hingga akhir bulan masih tersisa sepuluh hari atau lebih.

Masalah 1356: Musafir yang berniat ingin tinggal di suatu tempat selama sepuluh hari, jika sebelum mengerjakan mengerjakan satu shalat yang berjumlah empat rakaat, (seperti shalat Zhuhur) ia menggagalkan niatnya itu atau bimbang apakah tetap tinggal di situ atau pergi ke tempat lain, maka ia harus mengqashar shalatnya. Dan jika setelah mengerjakan satu shalat yang berjumlah empat rakaat ia menggagalkan niatnya itu atau menjadi bimbang, maka ia harus menyempurnakan shalatnya selama masih berada di tempat itu.

Masalah 1357: Musafir yang berniat untuk tinggal selama sepuluh hari di suatu tempat, jika ia sedang berpuasa dan setelah Zhuhur tiba ia menggagalkan niatnya untuk tinggal di situ (selama sepuluh hari), dalam hal ini apabila ia telah mengerjakan satu shalat yang berjumlah empat rakaat, maka puasanya adalah sah dan ia harus menyempurnakan shalatnya selama berada di sana. Dan apabila ia belum mengerjakan satu shalat yang berjumlah empat rakaat, maka puasanya pada hari itu adalah sah dan ia harus mengqashar shalatnya, serta ia tidak boleh berpuasa untuk hari-hari selanjutnya.

Masalah 1358: Musafir yang berniat untuk tinggal di suatu tempat selama sepuluh hari, jika ia menggagalkan niatnya itu dan ia ragu apakah sebelum menggagalkannnya ia telah mengerjakan satu shalat yang berjumlah empat rakaat atau belum, maka ia harus mengqashar shalatnya.

Masalah 1359: Jika musafir sedang mengerjakan shalat dengan niat mengqashar dan di pertengahan shalat ia mengambil keputusan untuk tinggal selama sepuluh hari atau lebih, maka ia harus menyempurnakan shalatnya sebanyak empat rakaat.

Masalah 1360: Musafir yang berniat untuk tinggal selama sepuluh hari di sebuah tempat, jika ia menggagalkan niatnya itu di pertengahan shalat yang berjumlah empat rakaat, dalam hal ini apabila ia belum mengerjakan rakaat ketiga, maka ia harus menyempurnakan shalatnya itu sebanyak dua rakaat dan mengqashar shalat-shalat yang selanjutnya. Dan apabila ia telah memasuki rukuk untuk rakaat ketiga, maka berdasarkan ihtiyath wajib ia harus menyempurnakan shalat tersebut dan mengqasharnya sekaligus, dan selama ia berada di situ hendaknya ia jangan meninggalkan ihtiyath tersebut.

Masalah 1361: Musafir yang berniat untuk tinggal di suatu tempat selama sepuluh hari, jika ia tinggal di situ lebih dari sepuluh hari, maka ia harus menyempurnakan shalatnya selama ia belum mengadakan perjalanan lagi dan tidak wajib ia berniat untuk tinggal selama sepuluh hari lagi.

Masalah 1362: Musafir yang berniat untuk tinggal di suatu tempat selama sepuluh hari, ia harus melaksanakan puasa wajib dan ia dapat melaksanakan puasa sunah, shalat Jumat, dan shalat sunah Zhuhur, ‘Ashar, dan Isya’.

Masalah 1363: Musafir yang berniat untuk tinggal di suatu tempat selama sepuluh hari, jika ia ingin pergi ke suatu tempat yang berjarak kurang dari 4 farsakh dan pulang kembali ke tempat menginapnya, maka ia harus menyempurnakan shalatnya.

Masalah 1364: Musafir yang berniat untuk tinggal di suatu tempat selama sepuluh hari, jika setelah mengerjakan satu shalat yang berjumlah empat rakaat dan niatnya untuk tinggal itu sudah pasti ia memutuskan untuk pergi ke suatu tempat lain yang berjarak kurang dari 8 farsakh dan tinggal di sana selama sepuluh hari, maka ia harus menyempurnakan shalatnya selama dalam perjalanan dan di tempat yang ingin tinggal selama sepuluh hari itu. Akan tetapi, jika tempat yang ingin dikunjunginya itu berjarak 8 farsakh atau lebih, maka selama dalam perjalanan ia harus mengqashar shalatnya dan apabila ia berniat untuk tinggal selama sepuluh hari di tempat tersebut, maka ia harus menyempurnakan shalatnya.

Masalah 1365: Musafir yang berniat untuk tinggal selama sepuluh hari di suatu tempat, jika setelah mengerjakan satu shalat yang berjumlah empat rakaat ia ingin pergi ke suatu tempat lain yang berjarak kurang dari 4 farsakh, dalam hal ini apabila ia ragu apakah ingin pulang kembali ke tempatnya semula atau tidak, atau ia lupa sama sekali untuk pulang kembali ke tempatnya semula, maka dari semenjak ia pergi hingga pulang kembali dan setelah sampai di tempatnya semula, ia harus menyempurnakan shalatnya. Iya! Jika ia mengambil keputusan untuk tidak pulang kembali ke tempat menginapnya semula dengan niat kembali ke tempat yang ingin ditinggalinya (selama sepuluh  hari)[1], maka berdasarkan ihtiyath wajib ia harus mengerjakan shalat dengan mengqashar dan menyempurnalan sekaligus selama ia dalam perjalanan menuju tempat tersebut dan selama ia berada di tempat itu. Akan tetapi, dalam perjalanan pulang kembali dari tempat tersebut, shalatnya harus diqashar. Dan jika jarak perjalanan hingga tempat tersebut tidak kurang dari 4 farsakh, maka cukup ia mengqashar shalatnya ketika ia keluar dari tempat menginapnya.

Masalah 1366: Jika ia berniat untuk tinggal selama sepuluh hari di suatu tempat karena menyangka teman-teman seperjalannya ingin tinggal di situ selama sepuluh hari dan setelah mengerjakan satu shalat yang berjumlah empat rakaat ia tahu bahwa mereka tidak ingin (tinggal selama sepuluh hari di situ), maka ia harus menyempurnakan shalatnya selama ia berada di situ meskipun ia sudah menggagalkan niatnya tersebut.

Masalah 1367: Jika musafir tinggal selama tiga puluh hari di suatu tempat setelah ia menempuh jarak 8 farsakh dan selama tiga puluh hari itu ia ragu apakah akan meneruskan perjalanan atau tetap tinggal di situ, maka selama masa (tiga puluh hari) itu shalatnya harus diqashar. Akan tetapi, setelah tiga puluh hari itu berlalu—meskipun ia tinggal di situ hanya dalam sekejap, ia harus menyempurnakan shalatnya. Adapun jika sebelum sampai pada jarak 8 farsakh ia ragu apakah akan meneruskan perjalanannya atau tidak, maka dari sejak keraguan itu muncul ia harus menyempurnakan shalatnya.

Masalah 1368: Musafir yang ingin tinggal di suatu tempat selama sembilan hari atau kurang, jika setelah tinggal di tempat itu selama sembilan hari atau kurang ia ingin tinggal lagi di tempat itu selama sembilan hari atau kurang, maka selama masa (sembilan hari) itu hingga tiga puluh hari shalatnya harus diqashar. Akan tetapi, dari hari ketiga puluh satu ia harus menyempurnakan shalatnya, meskipun masa tinggalnya hanya cukup untuk mengerjakan satu shalat.

Masalah 1369: Musafir yang ragu (apakah mau tinggal di suatu tempat atau meneruskan perjalanan) selama tiga puluh hari, ia harus menyempurnakan shalatnya (setelah tiga puluh hari itu usai) jika ia selama masa itu tinggal di satu tempat. Dengan demikian, jika ia tinggal di suatu tempat selama beberapa hari dan di tempat lain selama beberapa hari juga, maka setelah tiga puluh hari itu usai ia masih harus mengqashar shalatnya.

Aneka Masalah yang Lain

Masalah 1370: Musafir yang berada di Makkah, Madinah, dan masjid Kufah dapat menyempurnakan atau mengqashar shalatnya. Tentang ketiga tempat itu tidak ada perbedaan antara bangunan aslinya yang lama atau bangunan baru yang telah ditambahkan. Begitu juga musafir dapat menyempurnakan atau mengqashar shalatnya ketika ia berada di makam suci (haram) Imam Husain as, bahkan di masjid yang bersambung dengan makam tersebut.

Masalah 1371: Seseorang yang tahu bahwa dirinya adalah musafir dan harus mengqashar shalatnya, jika ia sengaja mengerjakannya secara sempurna di selain empat tempat yang telah disebutkan pada masalah di atas, maka shalatnya adalah batal. Begitu juga jika ia lupa bahwa shalat musafir harus diqashar dan ia mengerjakannya secara sempurna, maka berdasarkan ihtiyath wajib ia harus mengqadhanya jika waktu shalat sudah habis.

Masalah 1372: Seseorang yang tahu bahwa dirinya adalah musafir dan harus mengqashar shalatnya, jika tanpa perhatian dan berdasarkan kebiasaannya ia mengerjakan shalatnya secara sempurna, maka shalatnya adalah batal. Begitu juga jika ia lupa tentang hukum musafir dan tentang perjalanan dirinya, dalam hal ini apabila waktu shalat masih ada, maka ia harus mengulangi shalatnya. Bahkan, apabila waktu shalat sudah habis sekalipun, berdasarkan ihtiyath wajbi ia harus mengqadha shalatnya.

Masalah 1373: Musafir yang tidak tahu bahwa di dalam perjalanan ia harus mengqashar shalatnya, jika ia mengerjakannya secara sempurna, maka shalatnya adalah sah.

Masalah 1374: Musafir yang tahu (secara global) bahwa ia harus mengqashar shalatnya, jika ia tidak mengetahui sebagian syarat-syarat khususnya, seperti ia tidak tahu bahwa dalam perjalanan yang berjarak 8 farsakh ia harus mengqashar shalatnya, dalam hal ini apabila ia mengerjakannya secara sempurna, maka ia harus mengulangi shalatnya dengan mengqashar jika waktu shalat masih ada dan harus mengqadhanya dengan mengqashar jika waktu shalat sudah habis.

Masalah 1375: Musafir yang tahu harus mengqashar shalatnya, jika ia mengerjakan shalatnya secara sempurna karena ia menyangka bahwa jarak perjalanannya kurang dari 8 farsakh, ketika ia tahu bahwa perjalanannya berjarak 8 farsakh, maka ia harus mengulangi shalat yang telah dkerjakannya secara sempurna itu dengan mengqashar dan mengqadhanya dengan mengqashar jika waktu shalat sudah habis.

Masalah 1376: Jika ia lupa bahwa dirinya adalah musafir dan mengerjakan shalat secara sempurna, dalam hal ini apabila ia ingat pada saat waktu shalat masih ada, maka ia harus mengulanginya dengan mengqashar dan apabila ia ingat setelah waktunya habis, maka tidak wajib ia mengqadhanya. Akan tetapi, jika (ia melakukan demikian) karena lupa hukumnya, maka berdasarkan ihtiyath wajib ia harus mengqadhanya jika waktunya sudah habis.

Masalah 1377: Seseorang yang harus mengerjakan shalatnya secara sempurna, jika ia mengqashanya, maka—bagaiamanpun kondisinya—shalatnya adalah batal.

Masalah 1378: Jika ia sedang mengerjakan shalat yang berjumlah empat rakaat dan di pertengahan shalat ia ingat bahwa dirinya sedang dalam perjalanan atau ia baru sadar bahwa jarak perjalanannya adalah 8 farsakh, dalam hal ini apabila ia belum melakukan rukuk untuk rakaat ketiga, maka ia harus menyempurnakan shalatnya dalam dua rakaat dan apabila ia sudah mengerjakan rukuk untuk rakaat ketiga, maka shalatnya adalah batal dan jika ia masih memiliki waktu untuk mengerjakan satu rakaat, maka ia harus mengqashar, atau mengqadhanya (jika waktu shalat sudah habis).

Masalah 1379: Jika musafir tidak mengetahui sebagian hukum shalat musafir, seperti ia tidak tahu bahwa jika ia pergi sejauh 4 farsakh dan kembali pada hari atau malam itu juga, maka ia harus mengqashar shalatnya, dalam hal ini apabila ia mulai mengerjakan shalat dengan niat empat rakaat dan ia baru tahu hukum tersebut sebelum mengerjakan rukuk untuk rakaat ketiga, maka ia harus menyempurnakan shalatnya sebanyak dua rakaat, dan apabila ia baru tahu hal itu ketika sedang mengerjakan rukuk tersebut, maka shalatnya adalah batal. Dan jika masih ada waktu untuk mengerjakan shalat (yang sudah batal itu) meskipun sekadar mengerjakan satu rakaat, maka ia mengerjakannya dengan mengqashar, atau mengqadhanya (jika waktu shalat sudah habis).

Masalah 1380: Musafir yang harus mengerjakan shalat secara sempurna, jika karena tidak tahu hukum ia mulai mengerjakan shalat dengan niat dua rakaat dan di pertengahan shalat ia mengetahuinya, maka ia harus menyempurnakan shalatnya sebanyak empat rakaat. Dan berdasarkan ihtiyath mustahab, hendaknya ia—setelah shalatnya itu usai—mengulanginya lagi sebanyak empat rakaat.

Masalah 1381: Musafir yang belum mengerjakan shalatnya, jika sebelum waktu shalat usai ia sampai di tempat tinggalnya atau di tempat yang ingin didiaminya selama sepuruh hari, maka ia harus menyempurnakan shalatnya. Dan seseorang yang bukan musafir, jika ia belum mengerjakan shalat di awal waktu dan melakukan perjalanan, maka ia harus mengqashar shalatnya (selama) berada dalam perjalanan.

Masalah 1382: Jika musafir yang harus mengqashar shalatnya memiliki qadha shalat Zhuhur, ‘Ashar, atau Isya’ (karena ia tidak mengerjakannya selama dalam perjalanan), maka ia harus mengqadha masing-masing shalat itu sebanyak dua rakaat, meskipun ia ingin mengqadhanya di tempat tinggalnya. Dan jika seseorang yang bukan musafir memiliki qadha salah satu dari ketiga shalat tersebut, maka ia harus mengqadhanya sebanyak empat rakaat, meskipun ia ingin mengqadhanya di dalam perjalanan.

Masalah 1383: Disunahkan bagi musafir untuk membaca [سُبْحَانَ اللهِ وَ الْحَمْدُ ِللهِ وَلا إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَ اللهُ أَكْبَرُ] setiap kali setelah ia mengerjakan shalat secara qashar.


[1] Malah ia  ingin kembali ke tempat tersebut dengan niat untuk—misalnya—berpamitan kepada warga setempat, karena ia ingin pulang ke daerahnya—pen.