| 
PASAL VPENYALURAN ZAKATMasalah 
1973: Seseorang dapat menyalurkan zakatnya kepada 
delapan golongan berikut ini: a. Fakir; orang 
yang tidak memiliki biaya hidup selama setahun untuk diri dan keluarganya. 
Seseorang yang masih memiliki sebuah usaha (industri), tanah, atau modal 
sehingga ia bisa mendapatkan biaya hidupnya secara berangsur, ia bukanlah orang 
fakir. b. Miskin; 
orang yang menjalani hidupnya lebih parah dari orang fakir. c. Seseorang 
yang mendapatkan perintah dari imam ma‘shûm as atau wakilnya untuk mengumpulkan 
dan mengurusi zakat serta menyerahkannya kepada mereka atau memberikannya 
langsung kepada fakir-miskin. Dalam hal ini ia berhak memanfaatkan zakat untuk 
dirinya sesuai dengan jerih payah yang telah dilaksanakannya. d. Orang-orang 
kafir yang jika diberi zakat, mereka akan condong kepada Islam atau membantu 
muslimin dalam menghadapi peperangan yang sedang berkecamuk. Begitu juga 
muslimin yang lemah iman dan jika mereka diberi zakat, iman mereka akan menguat. e. Pembelian 
budak dan memerdekakannya. f. Orang yang 
memiliki utang dan ia tidak mampu untuk melunasi utangnya, dengan syarat utang 
tersebut tidak digunakan dalam kemaksiatan. g. 
Sabilillah; yaitu setiap pekerjaan yang memiliki manfaat umum untuk agama, 
seperti membangun masjid dan sekolah atau seperti membangun jembatan dan 
memperbaiki jalan yang manfaatnya kembali kepada seluruh muslimin, serta segala 
sesuatu yang—bagaimanapun bentuknya—bermanfaat bagi Islam dan muslimin. h. 
Ibnussabil; yaitu musafir yang kehabisan bekal di dalam perjalanannya. Hukum-hukum 
untuk setiap orang yang berhak menerima zakat itu akan dijelaskan pada 
masalah-masalah berikut ini. Masalah 
1974: Berdasarkan ihtiyâth wajib, fakir dan 
miskin tidak boleh menerima zakat melebihi biaya hidupnya dalam setahun, dan 
jika mereka masih memiliki sedikit uang atau barang, maka ia hanya boleh 
menerima zakat sesuai dengan kadar kekurangan biaya hidupnya. Masalah 
1975: Seseorang yang memiliki biaya hidup dalam 
setahun, jika ia memanfaatkan sebagian darinya dan setelah itu ragu apakah biaya 
yang tersisa itu dapat mencukupi biaya hidupnya dalam setahun atau tidak, maka 
tidak boleh ia mengambil zakat. Masalah 
1976: Pemilik industri dan tanah, atau seorang 
pedagang yang pendapatannya lebih sedikit dari biaya hidup yang dibutuhkan 
selama setahun, ia dapat mengambil zakat untuk menambal kekurangan biaya 
hidupnya itu, dan tidak harus ia menggunakan sarana kerja, tanah, atau modalnya 
sebagai biaya hidupnya. Masalah 
1977: Seorang fakir yang tidak memiliki biaya hidup 
dalam setahun untuk diri dan keluarganya, jika ia memiliki rumah yang sedang 
ditempatinya atau memiliki kendaraan, dalam hal ini apabila ia tidak dapat hidup 
tanpa itu semua—meskipun untuk tujuan menjaga harga dirinya, maka ia dapat 
mengambil zakat. Begitu juga berkenaan dengan perabotan rumah, pakaian musim 
panas dan musim dingin, dan segala sesuatu yang dibutuhkannya. Jika ia tidak 
memiliki semua itu dan membutuhkannya, maka ia dapat membelinya dengan 
menggunakan zakat. Masalah 
1978: Jika tidak sulit bagi seorang fakir untuk 
mempelajari sebuah profesi, maka berdasarkan ihtiyâth wajib ia harus 
mempelajarinya dan jangan hidup dengan mengandalkan zakat. Akan tetapi, selama 
masih mempelajarinya, ia dapat mengambil zakat. Masalah 
1979: Seseorang yang sebelumnya adalah fakir dan 
sekarang ia berkata, “Aku adalah orang fakir,” maka kita dapat memberikan zakat 
kepadanya, meskipun kita tidak yakin dengan ucapannya. Masalah 
1980: Seseorang yang berkata, “Aku adalah orang 
fakir” dan sebelumnya ia bukan orang fakir atau tidak pasti apakah sebelumnya ia 
adalah orang fakir atau tidak, selama hati kita tidak mantap dengan ucapannya, 
maka berdasarkan ihtiyâth wajib tidak boleh kita memberikan zakat 
kepadanya. Masalah 
1981: Seseorang yang wajib mengeluarkan zakat, jika 
ia memiliki tagihan utang kepada seorang fakir, maka ia dapat mengalkulasi 
tagihannya itu sebagai zakat. Masalah 
1982: Jika seorang fakir meninggal dunia dan harta 
peninggalannya tidak bernilai sejumlah utang yang harus dibayarnya, maka penagih 
utang dapat mengalkulasi tagihannya itu sebagai zakat. Bahkan, jika harta 
peninggalannya bernilai sejumlah utang yang harus dibayarnya dan para pewaris 
tidak mau melunasi utangnya atau ia—karena satu dan lain hal—tidak dapat 
mengambil tagihannya, maka ia dapat mengalkulasi tagihannya itu sebagai zakat. Masalah 
1983: Seseorang yang ingin memberikan zakat kepada 
seorang fakir, tidak harus ia mengucapkan kepadanya bahwa harta itu adalah harta 
zakat. Bahkan, jika ia malu (untuk menerimanya), disunahkan ia memberikan harta 
itu kepadanya sebagai zakat, tetapi ia jangan menjelaskan bahwa harta itu adalah 
harta zakat. Masalah 
1984: Jika seseorang memberikan zakat kepada orang 
lain yang diyakininya sebagai orang fakir dan setelah itu ia baru tahu bahwa ia 
bukanlah seorang yang fakir, atau—karena tidak tahu hukum—ia memberikan zakat 
kepada orang yang tidak fakir, dalam hal ini apabila harta zakat itu masih ada, 
maka ia dapat mengambilnya kembali dan memberikannya kepada orang yang berhak 
menerimanya, dan apabila harta zakat itu sudah habis, maka orang yang telah 
menerima harta zakat itu harus mengganti dan memberikannya ketika ia tahu atau 
memberikan kemungkinan bahwa harta yang telah diterimanya itu adalah harta zakat. 
Akan tetapi, jika orang itu memberikan kepadanya bukan atas nama zakat, maka ia 
tidak dapat mengambil suatu apa pun darinya. Jika ia tidak teledor dalam mencari 
orang yang berhak menerima zakat, seperti dua orang adil bersaksi atas 
kefakirannya, maka tidak wajib ia mengeluarkan zakat dari hartanya untuk kedua 
kalinya. Masalah 
1985: Seseorang yang memiliki utang dan tidak mampu 
untuk membayar utangnya, ia dapat mengambil harta zakat untuk membayar utangnya, 
meskipun ia masih memiliki biaya hidup untuk setahun. Akan tetapi, dengan syarat 
harta yang telah dipinjamnya itu tidak digunakan dalam kemaksiatan. Jika ia 
telah menggunakannya dalam kemaksiatan, dalam hal ini apabila ia telah bertaubat, 
maka saham orang fakir dapat diberikan kepadanya. Masalah 
1986: Jika seseorang memberikan zakat kepada orang 
yang memiliki utang dan tidak mampu untuk melunasinya, dan setelah itu ia tahu 
bahwa orang itu telah menggunakan harta pinjamannya dalam kemaksiatan, dalam hal 
ini apabila orang yang memiliki utang itu adalah fakir, maka ia dapat 
mengalkulasi harta yang telah diberikan kepadanya itu sebagai zakat. Akan 
tetapi, jika orang itu belum bertaubat dari maksiat tersebut, maka berdasarkan
ihtiyâth wajib tidak boleh ia mengalkulasi harta yang telah diberikan 
kepadanya sebagai zakat. Masalah 
1987: Seseorang yang memiliki utang dan tidak mampu 
untuk melunasi utangnya, meskipun ia tidak fakir, maka orang yang memiliki 
tagihan darinya dapat mengalkulasi tagihannya itu sebagai zakat. Masalah 1988: Musafir yang kehabisan bekal atau kendaraannya 
tidak dapat digunakan lagi, jika perjalanannya bukanlah perjalanan maksiat dan 
ia tidak dapat mencapai tempat tujuannya dengan cara meminjam uang atau menjual 
barang-barangnya, maka ia dapat mengambil zakat, meskipun di daerahnya sendiri 
ia bukanlah orang fakir. Akan tetapi, jika ia mampu mendapatkan biaya perjalanan 
dengan cara meminjam uang atau menjual barang-barangnya di suatu tempat, maka ia 
hanya dapat mengambil zakat sekadar yang dapat digunakan untuk sampai ke tempat 
itu. Masalah 1989: Musafir yang kehabisan bekal dan telah 
mengambil uang zakat, jika harta itu masih tersisa setelah ia sampai di 
daerahnya, maka ia harus mengembalikannya kepada mujtahid yang memenuhi syarat 
dan mengatakan kepadanya bahwa uang itu adalah uang zakat. |