Büyük Taklit Mercii
   Biografi
   Karya
   Hukum dan Fatwa
   Akidah
   Pesan-pesan
   Perpustakaan Fiqih
   Karya Putra Beliau
   Galeri

   E-Mail Listing:


 

BAB VIII

AMAR MAKRUF DAN NAHI MUNKAR

Masalah 2092: Amar makruf dan nahi munkar—dengan syarat-syarat yang akan disebutkan nanti—adalah wajib dan meninggalkannya adalah sebuah maksiat. Amar makruf dan nahi munkar berkenaan dengan hal-hal yang sunah dan makruh adalah sunah.

Masalah 2093: Amar makruf dan nahi munkar adalah wajib kifâ’î dan jika sebagian mukalaf telah melaksanakannya, maka kewajiban ini gugur dari yang lainnya. Jika penegakan amar makruf dan nahi munkar bergantung kepada gebrakan kolektif beberapa mukalaf, maka wajib bagi mereka untuk melakukan gebrakan secara kolektif.

Masalah 2094: Jika sebagian orang melakukan amar makruf dan nahi munkar dan tidak berpengaruh, dan sebagian yang lain memberikan kemungkinan bahwa amar makruf dan nahi munkar (yang akan) mereka (lakukan) akan berpengaruh, maka wajib bagi mereka untuk melakukan amar makruf dan nahi munkar.

Masalah 2095: Dalam melaksanakan amar makruf dan nahi munkar, hanya menjelaskan hukum-hukum syariat tidaklah cukup. Mukalaf harus memerintah dan melarang.

Masalah 2096: Dalam rangka melaksanakan amar makruf dan nahi munkar, niat qurbah tidak disyaratkan. Maksud dari tugas ini adalah menegakkan sesuatu yang wajib dan mencegah sesuatu yang haram.

Syarat-syarat Amar Makruf dan Nahi Munkar

Masalah 2097: Amar makruf dan nahi munkar adalah wajib jika empat syarat berikut ini terpenuhi:

a. Seseorang yang ingin melaksanakan amar makruf dan nahi munkar harus mengetahui bahwa sesuatu yang tidak dikerjakan oleh seorang mukalaf adalah kewajiban yang harus dilaksanakannya dan sesuatu yang sedang dikerjakannya adalah keharaman yang harus ditinggalkannya. Amar makruf dan nahi munkar bagi orang yang tidak mengetahui makruf dan munkar tidaklah wajib.

b. Ia memberikan kemungkinan bahwa amar makruf dan nahi munkar yang akan dilaksanakannya akan memiliki pengaruh. Jika ia yakin tidak akan berpengaruh, maka amar makruf dan nahi munkar tidak wajib baginya.

c. Ia yakin atau mantap hati bahwa pelaku maksiat itu ingin mengulangi maksiatnya. Dengan demikian, jika ia tahu, menyangka, atau memberikan kemungkinan secara ‘uqalâ’î bahwa ia tidak akan mengulanginya, maka amar makruf dan nahi munkar tidak wajib baginya.

d. Amar makruf dan nahi munkar tidak menyebabkan bahaya dan kerugian (dharar). Dengan demikian, jika seseorang tahu atau menyangka bahwa ia akan mengalami kerugian jiwa, harga diri, kehormatan, atau harta yang layak mendapatkan perhatian karena melakukan amar makruf atau nahi munkar, maka tugas ini tidak wajib atasnya. Bahkan, jika ia memberikan kemungkinan secara uqalâ’î bahwa ia akan mengalami kerugian-kerugian tersebut, maka amar makruf dan nahi munkar tidak wajib atasnya. Bahkan, jika ia khawatir bahwa bahaya dan kerugian akan mengancam keluarganya, maka amar makruf dan nahi munkar tidak wajib atasnya. Dan bahkan, jika kemungkinan terjadinya bahaya dan kerugian jiwa, harga diri, kehormatan, atau harta tersebut akan menyebabkan sebagian mukminin hidup dalam kesengsaraan (haraj), maka amar makruf dan nahi munkar tidak wajib, dan bahkan haram dalam beberapa kondisi.

Masalah 2098: Secara global, dalam melakukan amar makruf dan nahi munkar, seseorang harus memperhatikan urgensi makruf atau munkar jika dibandingkan dengan bahaya atau biaya yang diperlukan untuk itu. Jika urgensi makruf atau munkar lebih kecil dibandingkan dengan bahaya dan biaya (melakukan) amar makruf dan nahi munkar, maka tugas ini tidak wajib atasnya, tetapi boleh (baca: mubah), dan jika urgensi makruf dan munkar lebih besar dibandingkan dengan bahaya dan biaya (melakukan) amar makruf dan nahi munkar, maka tugas ini adalah wajib atasnya, meskipun hal itu menyebabkan bahaya dan kerugian yang tak terhingga, dan bahkan meskipun hal itu harus menyebabkan pengorbanan jiwa dan harta.

Masalah 2099: Jika sebuah bid‘ah terjadi di dalam agama Islam, seperti kemungkaran-kemungkaran yang dilakukan oleh pemerintah-pemerintah lalim atas nama Islam, maka wajib bagi—khususnya—para ulama Islam untuk menampakkan kebenaran dan mengingkari kebatilan, dan jika diamnya mereka akan menyebabkan pelecehan terhadap kedudukan ilmu dan buruk sangka terhadap ulama Islam, maka wajib mereka menampakkan kebenaran melalui segala cara yang dimungkinkan, meskipun mereka tahu bahwa tindakan mereka itu tidak akan berpengaruh.

Masalah 2100: Jika diamnya ulama akan menyebabkan kekuatan orang yang zalim, dukungan terhadapnya, atau keberaniannya untuk melakukan hal-hal yang telah diharamkan (di dalam Islam), maka wajib bagi mereka untuk menampakkan kebenaran dan mengingkari kebatilan, meskipun sikap mereka ini tidak berpengaruh sekarang.

Urutan-urutan dalam Melaksanakan Amar Makruf dan Nahi Munkar

Masalah 2101: Amar makruf dan nahi munkar memiliki urutan-urutan tertentu, dan tidak diperbolehkan melakukan urutan yang lain jika tujuan amar makruf dan nahi munkar dapat tercapai dengan menggunakan urutan yang paling ringan.

Masalah 2102: Urutan pertama adalah memperlakukan pelaku maksiat sedemikian rupa sehingga ia memahami bahwa karena melakukan maksiat tersebut ia telah diperlakukan demikian, seperti memalingkan wajah darinya, menemuinya dengan muka masam, atau tidak mengunjunginya. Semua itu dengan tujuan supaya ia meninggalkan maksiat tersebut dan tidak mengulanginya.

Masalah 2103: Jika dalam urutan ini juga masih terdapat urutan-urutan tertentu, dalam hal ini apabila urutan yang paling ringan dapat berpengaruh, maka ia harus mencukupkan diri dengan urutan tersebut. Misal, jika tujuan amar makruf dan nahi munkar dapat tercapai dengan jalan tidak berbicara dengannya, maka cukup ia melakukan cara ini dan jangan melakukan urutan yang lebih tinggi dari itu, khususnya jika memperlakukannya dengan menggunakan (urutan yang lebih tinggi) ini akan menyebabkan pelecehan terhadap harga dirinya.

Masalah 2104: Jika berpaling dan memutus hubungan dengan pelaku maksiat akan mengurangi perbuatan maksiatnya atau ia memberikan kemungkinan bahwa perlakukan itu akan mengurangi maksiatnya, maka ia wajib melakukan cara tersebut.

Masalah 2105: Urutan kedua untuk melakukan amar makruf dan nahi munkar adalah amar makruf dan nahi munkar dengan menggunakan lidah. Dengan demikian, dengan kemungkinan adanya pengaruh dan terpenuhinya syarat-syarat tersebut di atas, kita wajib mencegah pelaku maksiat dan memerintahkan orang yang meninggalkan kewajiban untuk melakukannya.

Masalah 2106: Jika pelaku maksiat berhenti dari maksiatnya dengan cara menasihatinya, maka kita wajib mencukupkan diri dengan memberikan nasihat dan tidak boleh melebihi cara tersebut.

Masalah 2107: Jika nasihat tidak berpengaruh, maka kita wajib—dengan kemungkinan adanya pengaruh—memperkeras amar makruf dan nahi munkar tersebut, dan jika cara ini juga tidak berpengaruh kecuali dengan memperkeras ucapan dan ancaman untuk menentangnya, maka hal itu adalah wajib. Akan tetapi, berbohong dan melakukan maksiat yang lain (untuk tujuan itu) juga harus dihindari.

Masalah 2108: Untuk mencegah sebuah maksiat tidak diperbolehkan melakukan maksiat yang lain, seperti mencaci-maki, berbohong, dan menghina, kecuali jika maksiat (yang hendak dicegah tersebut) termasuk maksiat yang mendapat perhatian (khusus) dari Allah dan Dia tidak rida dengannya, seperti membunuh jiwa yang tak bersalah. Dalam hal ini, kita harus mencegahnya dengan cara apa pun.

Masalah 2109: Jika pelaku maksiat tidak menghentikan perbuatannya kecuali dengan cara mengumpulkan urutan pertama dan kedua (amar makruf dan nahi munkar tersebut), maka kita harus melakukan keduanya. Yaitu, kita berpaling darinya, memutus hubungan dengannya, dan bertemu dengannya dengan muka masam, dan juga melakukan amar makruf dan nahi munkar terhadapnya secara lisan.

Masalah 2110: Urutan ketiga (amar makruf dan nahi munkar) adalah melakukan cara kekerasan dan pemaksaan. Dengan demikian, jika kita tahu atau mantap hati bahwa seseorang tidak akan meninggalkan kemungkaran atau tidak akan melaksanakan kewajiban kecuali dengan cara kekerasan dan pemaksaan, maka cara ini wajib dilakukan. Akan tetapi, tidak boleh kita melampaui batas yang diperlukan.

Masalah 2111: Jika mencegah maksiat mungkin dilakukan dengan cara menghalangi orang tersebut dari perbuatan maksiat dan dengan cara ini kita dapat mecegahnya dari perbuatan maksiat, maka kita harus melakukan cara itu saja jika bahayanya lebih sedikit dari cara-cara yang lain.

Masalah 2112: Jika pencegahan maksiat tergantung kepada tindakan menahan tangan pelaku maksiat, mengeluarkannya dari tempat maksiat, atau menggunakan alat yang dipergunakan untuk melakukan maksiat, maka boleh, bahkan wajib kita melakukan semua itu.

Masalah 2113: Tidak boleh kita memusnahkan harta benda yang harus dihormati milik pelaku maksiat, kecuali jika tindakan ini adalah konsekuensi pencegahan maksiat. Dalam hal ini, jika kita memusnahkan harta bendanya, maka berdasarkan ihtiyâth wajib kita harus membayar barang sejenis atau harganya (sebagai gantinya). Jika tidak demikian, maka kita masih memiliki tanggung jawab untuk menggantinya (dhâmin) dan telah melakukan sebuah maksiat.

Masalah 2114: Jika pencegahan maksiat tergantung pada tindakan memenjarakan pelaku maksiat di sebuah tempat atau mencegahnya untuk masuk ke sebuah tempat, maka hal itu wajib (kita lakukan) dengan memperhatikan kadar yang diperlukan dan tidak melebihi batas yang dibutuhkan.

Masalah 2115: Jika pencegahan maksiat tergantung pada tindakan memukul, mempersulit, dan memboikot pelaku maksiat, maka hal itu boleh dilakukan. Akan tetapi, jangan sampai tindakan itu dilakukan secara berlebihan. Dan yang lebih baik, bahkan ihtiyâth wajib adalah dalam hal ini dan hal-hal yang serupa dengannya hendaknya kita meminta izin (terlebih dahulu) kepada mujtahid yang memenuhi syarat.

Masalah 2116: Jika pencegahan kemungkaran dan penegakan kewajiban tergantung pada tindakan melukai dan membunuh (pelaku maksiat), maka tindakan ini (tidak boleh dilakukan) kecuali dengan izin mujtahid yang memenuhi syarat dan syarat-syarat untuk melakuan tindakan itu terpenuhi.

Masalah 2117: Jika kemungkaran termasuk salah satu maksiat yang mendapatkan perhatian khusus dari Allah dan Dia—sama sekali—tidak rida dengan terjadinya kemungkaran itu, maka diperbolehkan kita mencegahnya dengan segala cara yang dimungkinkan. Sebagai contoh, jika seseorang ingin membunuh orang yang tidak boleh dibunuh, maka kita harus mencegahnya, dan jika membela orang yang dizalimi tidak mungkin kecuali dengan membunuh orang yang zalim, maka hal itu boleh, bahkan wajib, dan tidak perlu kita meminta izin (terlebih dahulu) kepada mujtahid. Akan tetapi, harus diperhatikan, jika mungkin untuk mencegahnya dengan menggunakan cara lain yang tidak mengakibatkan pembunuhan, maka kita harus menggunakan cara tersebut, dan jika kita melampaui batas yang diperlukan, maka kita telah berbuat maksiat dan hukum melanggar (kehormatan orang lain—muta‘addî) akan dijatuhkan atas kita.